1. Argumentasi
Menurut Buku ‘Argumentasi dan Narasi’ karya
Gorys Keraf, Argumentasi adalah suatu bentuk retorika yang berusaha untuk
mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain, agar mereka itu percaya dan
akhirnya bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis atau
pembaca.
Melalui argumentasi penulis berusaha merangkaikan fakta-fakta
sedemikian rupa, sehingga ia mampu menunjukkan apakah suatu pendapat atau suatu
hal tertentu itu benar atau tidak.
Sebuah topik tertentu dapat disorot dengan
mempergunakan argumentasi,
misalnya topik "perguruan tinggi".
Melalui
argumentasi, penulis menyatakan pendiriannya agar diadakan perubahan dan
perbaikan, atau bagaimana seharusnya kebijaksanaan pendidikan di perguruan
tinggi.
Agar pembaca dapat diyakinkan mengenai maksudnya itu, penulis
harus mengemukakan pula bukti-bukti untuk memperkuat pendirian atau pendapatnya
itu.
Dasar sebuah tulisan yang bersifat
argumentatif adalah berpikir kritis dan logis.
Untuk itu, penulis harus
bertolak dari fakta-fakta atau evidensi-evidensi yang ada.
Disamping memerlukan
penjelasan, argumentasi memerlukan juga keyakinan dengan perantaraan
fakta-fakta itu.
Oleh sebab itu, penulis harus meneliti apakah semua fakta yang
akan dipergunakan itu benar, dan harus meneliti pula bagaimana relevansi kualitasnya
dengan maksudnya.
Pada hakikatnya, evidensi adalah semua fakta
yang ada, semua kesaksian, semua informasi, atau autoritas, dan sebagainya yang dihubungkan untuk membuktikan suatu kebenaran.
Dalam argumentasi,
seorang penulis boleh mengandalkan argumentasinya pada pernyataan saja, bila ia
menganggap pembaca sudah mengetahui fakta-faktanya, serta memahami sepenuhnya
kesimpulan-kesimpulan yang diturunkan daripadanya.
Evidensi itu berbentuk data
atau informasi, yaitu bahan keterangan yang diperoleh dari suatu sumber
tertentu, biasanya berupa statistik, dan keterangan-keterangan yang dikumpulkan
atau diberikan oleh orang-orang kepada seseorang, semuanya dimasukkan dalam
pengertian data (apa yang diberikan) dan informasi (bahan keterangan).
Penalaran merupakan sebuah proses berpikir
untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis. Penalaran bukan saja dapat
dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang masih berbentuk polos, tetapi
dapat juga dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang telah dirumuskan
dalam kalimat-kalimat yang berbentuk pendapat atau kesimpulan.
Proposisi selalu berbentuk kalimat, tetapi
tidak semua kalimat adalah proposisi. Hanya kalimat deklaratif yang dapat
mengandung proposisi, karena hanya kalimat semacam itulah yang dapat dibuktikan
atau disangkal kebenarannya. Kalimat-kalimat tanya, perintah, harapan, dan
keinginan (desideratif) tidak pernah mengandung proposisi.
Inferensi berasal dari kata Latin inferre yang
berarti menarik kesimpulan. Implikasi juga berasal dari bahasa Latin yaitu dari
kata implicareyang
berarti melibat atau merangkum. Dalam logika, juga dalam bidang ilmiah lainnya,
inferensi adalah kesimpulan yang diturunkan dari apa yang ada atau dari
fakta-fakta yang ada. Sedangkan implikasi adalah rangkuman, yaitu sesuatu
dianggap ada karena sudah dirangkum dalam fakta atau evidensi itu sendiri.
Untuk membuktikan suatu kebenaran,
argumentasi mempergunakan prinsip-prinsip logika sebagai telah dikemukakan
diatas. Logika merupakan suatu cabang ilmu yang berusaha menurunkan
kesimpulan-kesimpulan melalui kaidah-kaidah formal yang absah (valid).
Istilah benar dan salah pertama-tama
dipergunakan dalam argumentasi. Sebaliknya, untuk logika dipergunakan istilah
absah (valid) dan tak absah (invalid). Bila semua bentuk formal yang diperlukan
untuk menurunkan suatu kesimpulan dipenuhi, maka silogisme dinyatakan absah.
Bila silogisme itu absah, maka dengan sendirinya kesimpulan yang diperoleh juga
bersifat absah. Dalam argumentasi, yang dijadikan persoalan adalah apakah semua
proposisi bersama konklusinya itu benar atau tidak.
Sebagai contoh:
A. Premis
Mayor : Semua mahasiswa adalah pejuang.
B. Premis
Minor : Ali adalah seorang mahasiswa.
C. Konklusi :
Sebab itu, Ali adalah seorang pejuang.
Dari segi formal, silogisme diatas bersifat
absah. Namun sebagai argumen, silogisme itu tidak meyakinkan, karena proposi
mayornya salah atau diragukan kebenarannya. Akan tetapi, jika kita menerima
proposisi mayornya, maka kesimpulannya bersifat absah. Oleh sebab itu, penulis
harus yakin bahwa semua premis mengandung kebenaran, sehingga ia dapat
mempengaruhi sikap pembaca. Untuk membuktikan sesuatu, silogisme bukan saja
harus mengandung sebuah struktur yang absah tetapi proposisinya juga harus
mengandung pernyataan-pernyataan yang benar mengenai dunia kita ini. Logika
memusatkan perhatiannya pada proses berpikir, sedangkan retorika memusatkan
perhatiannya pada isi, pada kebenaran yang nyata yang ada di alam.
Dasar yang harus diperhatikan sebagai titik
tolak argumentasi adalah:
Penulis harus mengetahui serba sedikit
tentang subyek yang akan dikemukakannya, sekurang-kurangnya mengenai
prinsip-prinsip ilmiahnya. Dengan demikian, penulis dapat memperdalam masalah
dengan penelitian, observasi, dan autoritas untuk memperkuat data dan informasi
yang telah diperolehnya.
Penulis harus bersedia mempertimbangkan
pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapatnya
sendiri. Dengan tujuan untuk mengetahui apakah diantara fakta-fakta yang
diajukan lawan ada yang dapat dipergunakannya, sehingga justru akan memperlemah
pendapat lawan.
Penulis harus berusaha untuk mengemukakan
pokok persoalannya dengan jelas, harus menjelaskan mengapa ia harus memilih
topik tersebut. Sementara itu pula, ia harus mengemukakan konsep-konsep dan
istilah-istilah yang tepat.
Penulis harus menyelidiki persyaratan mana
yang masih diperlukan bagi tujuan-tujuan lain yang tercakup dalam persoalan
yang dibahas, dan sampai dimana kebenaran dari pernyataan yang telah
dirumuskannya itu.
Dari semua maksud dan tujuan yang terkandung
dalam persoalan itu, maksud mana yang lebih memuaskan penulis untuk
menyampaikan masalahnya.
Untuk membatasi persoalan dan menetapkan
titik ketidaksesuaian, maka sasaran yang harus ditetapkan untuk diamankan oleh
setiap penulis argumentasi adalah:
Argumentasi harus mengandung kebenaran untuk
mengubah sikap dan keyakinan orang mengenai topik yang akan diargumentasikan
Penulis harus berusaha untuk menghindari
setiap istilah yang dapat menimbulkan prasangka tertentu.
Sering timbul ketidaksepakatan dalam
istilah-istilah. Sedangkan tujuan argumenasi adalah menghilangkan
ketidaksepakatan. Oleh sebab itu, pada saat pertama penulis menggunakan suatu
istilah, ia harus membatasi pengertian istilah yang dipergunakan, agar dapat
dihindarkan kemungkinan timbulnya ketidaksesuaian pendapat karena perbedaan
pengertian. Pembatasan pengertian atau definisi sebuah istilah hanya sekedar
merupakan proses pembentukan makna untuk meletakkan dasar-dasar persamaan
pengertian bagi istilah yang akan digunakan itu, tetapi hal itu sangat penting
supaya tujuan utama jangan diabaikan atau terganggu hanya karena timbul
ketidaksepakatan baru mengenai istilah itu.
Pengarang harus menetapkan secara tepat titik
ketidaksepakatan yang akan diargumentasikan.
Langkah-langkah penulis sebelum mengemukakan
argument, diantaranya:
Proses pengumpulan bahan-bahan yang
diperlukan. Ini merupakan latihan keahlian dan ketrampilan tersendiri, suatu
latihan yang intensif dan akurat bagaimana seorang memperoleh informasi-informasi
yang tepat untuk tiap obyek atau persoalan. Satu hal pokok yang harus diingat
adalah oleh setiap penulis adalah penulis harus menyusun semua fakta, pendapat
autoritas atau evidensi itu secara kritis dan logis, penulis harus mengadakan
seleksi atas fakta-fakta dan autoritas, mana yang dapat dipergunakannya dan
mana yang harus disingkirkannya.
Rencana penyusunan yang baik. Penulis harus
siap dengan metode terbaik untuk menyajikannya dalam suatu bentuk atau suatu
rangkaian yang logis dan meyakinkan. Bila penulis tidak memiliki rencana
penyusunan yang baik, maka tampaknya apa yang diungkapkan itu tidak terarah,
serta tidak terdapat hubungan antara fakta-fakta atau autoritas itu.
II. Narasi
Berdasarkan buku yang berjudul ‘Menulis
Secara Populer’ KARYA Ismail Marahimin, Narasi adalah cerita. Cerita ini
didasarkan pada urutan-urutan suatu (atau serangkaian) kejadian atau peristiwa.
Di dalam kejadian itu ada tokoh (atau beberapa tokoh), dan tokoh ini mengalami
atau menghadapi suatu (atau serangkaian) konflik atau tikaian.
Kejadian, tokoh,
dan konflikmerupakan unsur pokok sebuah narasi, dan ketiganya secara kesatuan
biasa pula disebut plot atau alur. Dengan demikian narasi adalah cerita
berdasarkan alur.
Narasi bisa berisi fakta, bisa pula fiksi
atau rekaan, yang direka-reka atau dikhayalkan oleh pengarangnya saja. Yang
berisi fakta adalah biografi (riwayat hidup seseorang), otobiografi (riwayat
hidup seseorang yang ditulisnya sendiri), kisah-kisah sejati seperti
“Pengalaman yang Tidak Terlupakan”, “Kisah Sejati”, dan lainnya yang banyak
ditemukan di dalam media massa. Yang berisi rekaan atau fiksi adalah novel,
cerita pendek, cerita bersambung, dan cerita bergambar.
Di dalam sebuah narasi, bisa terdapat sebuah
alur saja, bisa pula lebih. Bisa pula terdapat sebuah alur utama dan beberapa
buah alur tambahan atau sub-plot. Narasi yang tidak sempurna merupakan narasi
yang tanpa konflik. Namun dalam kisah perjalanan, tekanan biasanya diberikan
pada deskripsi atau penggambaran segala sesuatu yang diamati selama perjalanan
itu, atau eksposisi yang menyingkapkan hal-hal yang selama ini tidak diketahui
oleh orang, atau menjawab pertanyaan ‘Mengapa?’ dan ‘Bagaimana?’
Alur itu memiliki latar waktu dan latar
tempat. Untuk mempertajam suatu kejadian, maka diperlukan beberapa latar
lainnya seperti latar sosial, latar budaya, latar ekonomi, latar politik
pemerintahan, dan berbagai latar lainnya. Warna lokal yang tajam menggambarkan
bukan saja waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tetapi juga sosial budaya
serta semua hal-hal yang dibicarakan, sehingga cerita yang sama tidak bisa
terjadi di tempat lain atau pada waktu yang lain. Disamping deskripsi yang
teliti mengenai lokasi, benda-benda, tokoh-tokoh, serta kebiasaan-kebiasaan
setempat di dalam sebuah cerita, ada pula penulis yang bahkan memasukkan dialek
setempat, terutama di dalam percakapan atau dialog di antara tokoh-tokoh di
dalam cerita, untuk mempertajam warna lokal. Namun harus dijaga jangan sampai
karena kebanyakan bahasa setempat, dialog cerita tersebut menjadi tidak lagi
dimengerti oleh pembaca, atau menimbulkan salah pengertian. Kisi-kisi
diperlukan sebagai persiapan sebelum mulai menuliskan suatu cerita. Ini gunanya
untuk menjaga agar tidak terjadi anakronisme, yaitu adanya orang atau kejadian
yang salah waktu. Kisi-kisi ini pada dasarnya adalah suatu peta tokoh-tokoh
terhadap perjalanan waktu.
Dalam Bahasa Inggris, istilah Point of View,
dalam kaitannya dengan narasi, bukan saja berarti ‘sudut pandang’, tetapi lebih
dalam dari itu, karena menyangkut struktur dramatikal sebuah narasi. Ini
menyangkut siapa yang ‘bercerita’ di dalam narasi itu, dan ini sangat
mempengaruhi struktur cerita. Oleh karena itu, Point of View di
dalam buku Menulis Secara Populer, diterjemahkan dengan ‘posisi narator’.
Dalam sebuah narasi tentulah ada yang
bercerita, yang menceritakan kepada pembaca apa saja yang terjadi. Pada satu
ujung kita melihat ada cerita yang memakai ‘aku’ atau ‘saya’ sebagai tokoh
utama dalam cerita itu. Dengan sendirinya apa yang kita dapatkan dari cerita
itu adalah apa-apa yang dilihat, didengar, serta dialami oleh ‘aku’ itu. Jalan
pikiran, pergolakan perasaan, dugaan, dan kesimpulan yang dihidangkan pun
berasal dari ‘aku’ itu juga. Yang tidak dilihat, tidak didengar atau
diketahuinya tentulah tidak bisa diceritakannya kepada kita. Jadi narator dalam
cerita ini adalah pelaku utama. Narasi seperti itu sering disebut sebagai
narasi dengan posisi ‘orang pertama’ atau ‘Aku-an’.
Pada ujung lain kita temukan cerita yang
naratornya tidak kelihatan, tetapi dia mengetahui semua peristiwa, semua
perasaan, dan pikiran semua tokoh di dalam cerita tersebut. Cerita seperti ini
selalu memakai bentuk orang ketiga, yaitu ‘dia’. Posisi narator disini adalah
seperti Tuhan yang serba tahu, yang omniscient, istilah inggrisnya.
Narator dikatakan seperti mempunyai ‘mata Tuhan’, dan narasi seperti ini sering
disebut sebagai narasi ‘Dia-an’.
Sebuah narasi dapat tersusun menurut berbagai
pola. Yang paling sederhana kedengarannya agaknya adalah pola yang berasal dari
Aristoteles (abad IV sebelum masehi). Menurutnya, sebuah narasi harus terdiri
dari tiga bagian yaitu awal, tengah, dan akhir. Sangat sederhana, namun
ada ekornya, karena ternyata Aristoteles memberikan tugas-tugas khusus kepada
masing-masing bagian itu.
Bagian awal, menurutnya haruslah seperti mata
pancing dengan umpan yang lezat, sehingga begitu orang membacanya, hatinya
langsung terpaut. Bagian ini harus memperkenalkan tokoh-tokoh yang memainkan
peranan di dalam cerita itu, serta memberikan latar belakang yang diperlukan
untuk kelancaran cerita. Disamping itu, harus menyiratkan atau memberikan
lanjaran, bagaimana kira-kira cerita itu akan berakhir. Maksudnya bukanlah,
begitu orang membaca awal itu dia langsung mengetahui bagaimana kelanjutan dan
akhir cerita nantinya. Akhir yang baik itu selalu harus mengejutkan.
Bagian tengah dimulai ketika di dalam cerita
tersebut mulai muncul komplikasi, tikaian atau keruwetan, yang menjurus ke
konflik. Kemudian ini menuju ke titik krisis konflik yang terakhir, yang paling
menentukan, yang dinamakan klimaks.
Konflik itu biasanya memang diakhiri dengan
sebuah ledakan yang biasanya disebut klimaks. Ibarat letusan gunung berapi,
awalnya adalah ketika tekanan uap atau gas di dalam gunung itu mulai meninggi
(komplikasi, yang membawa atau menuju ke konflik). Kemudian ada letusan-letusan
kecil, ada semburan abu, batu, asap, dan api (konflik), dan pada akhir sekali
tibalah letusan itu, yang dahsyat dan mencampakkan separuh puncak gunung itu
(klimaks).
Sesudah letusan itu, semuanya kembali tenang.
Para penduduk yang selamat kembali ke bakas rumah masing masing atau
bertransmigrasi. Bantuan kemanusiaan pun berhenti mengalir, dan kehidupan baru
segera dimulai. Itulah tamsilan akhir narasi menurut Aristoteles.
Berdasarkan pada buku yang berjudul
‘Argumentasi dan Narasi’ karya Gorys Keraf, pengertian narasi mencakup dua
unsur dasar yaitu perbuatanatau tindakan yang
terjadi dalam suatu rangkaian
waktu. Apa yang telah terjadi tidak lain dari
pada tindak-tanduk yang dilakukan oleh orang-orang atau tokoh-tokoh dalam suatu
rangkaian waktu. Narasi mengisahkan suatu kehidupan yang dinamis dalam suatu
rangkaian waktu.
Narasi dibatasi sebagai suatu bentuk wacana
yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan
menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Atau dapat
juga, narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan
sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. Ada narasi
yang hanya bertujuan untuk memberi informasi kepada para pembaca, agar
pengetahuannya bertambaha luas, yaitu narasi ekspositoris. Disamping itu juga
ada narasi yang disusun dan disajikan sekian macam, sehingga mampu menimbulkan
daya khayal para pembaca. Ia berusaha menyampaikan sebuah makna kepada para
pembaca melalui daya khayal yang dimilikinya, narasi semacam ini disebutnarasi sugestif.
Narasi Ekspositoris
Narasi ekspositoris bertujuan untuk menggugah
pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan. Sasaran utamanya
adalah rasio, yaitu berupa perluasan pengetahuan para pembaca sesudah membaca
kisah tersebut. Narasi ekspositoris mempersoalkan tahap-tahap kejadian,
rangkaian-rangkaian perbuatan kepada para pembaca. Narasi ekspositoris dapat
bersifat generalisasi dan bersifat khas atau khusus.
Narasi ekspositoris yang bersifat
generalisasi adalah narasi yang menyampaikan suatu proses yang umum, yang dapat
dilakukan siapa saja, dan dapat pula dilakukan secara berulang-ulang. Misalnya
suatu wacana naratif yang menceritakan bagaiman seorang menyiapkan nasi goring,
bagaimana membuat roti, bagaimana membangun sebuah kapal dengan mempergunakan
bahan fero-semen, dan sebagainya. Narasi itu menyampaikan proses yang umum,
yang dapat dilakukan siapa saja, dan dapat dilakukan berulang kali.
Narasi yang bersifat khusus adalah narasi
yang berusaha menceritakan suatu peristiwa yang khas, yang hanya terjadi satu
kali dan yang tidak dapat diulang kembali, karena merupakan kejadian pada suatu
waktu tertentu saja. Misalnya narasi mengenai pengalaman seseorang yang pertama
kali masuk sebuah perguruan tinggi, pengalaman seorang pertama kali mengarungi
samudera luas, pengalaman seorang gadis yang pertama kali menerima curahan
kasih dari seorang pria idamannya.
Narasi Sugestif
Seluruh rangkaian kejadian itu berlangsung
dalam suatu kesatuan waktu. Tujuan atau sasaran utamanya adalah berusaha member
makna atas peristiwa atau kejadian itu sebagai suatu pengalaman, maka narasi
sugestif selalu melibatkan daya khayal (imajinasi).
Narasi sugestif merupakan suatu rangkaian peristiwa yang disajikan
sekian macam sehingga merangsang daya khayal para pembaca. Pembaca menarik
suatu makna baru di luar apa yang diungkapkan secara eksplisit, yaitu sesuatu
yang tersurat mengenai obyek atau subyek yang bergerak dan bertindak, sedangkan
makna yang baru adalah sesuatu yang Telah tersirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar