Nama : Aknal Rodinal Sitorus
Kelas : 3KB05
Npm : 24109689
Rencana pemerintah mengenai pembatasan penggunaan bahan bakar minyak
(BBM) bersubsidi mulai 1 April 2012 terbukti hanya gagah-gagahan. Sekadar
gertak sambal untuk menutupi kegalauan sekaligus kepanikan dalam menghadapi
pembengkakan subsidi BBM akibat kenaikan harga minyak di pasar global.
Pemerintah sesungguhnya sama sekali tidak siap untuk melakukan
pembatasan penggunaan BBM bersubsidi - apalagi dalam waktu yang terbilang sudah
mepet. Terutama karena kesiapan infrastruktur di lapangan sekarang ini amat
minim, rencana pembatasan penggunaan BBM subsidi ini pun menjadi tidak layak
dilaksanakan. Kalaupun dipaksakan, kebijakan itu niscaya hanya menimbulkan
kekacauan di masyarakat.
Karena itu bisa dipahami jika rencana pemerintah mengenai pembatasan
penggunaan BBM bersubsidi mulai 1 April 2012 tidak mendapat dukungan DPR. Forum
rapat kerja Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral bersama Komisi VII DPR pun,
Senin lalu, akhirnya menyingkirkan rencana tersebut. Untuk mengatasi tekanan
beban subsidi BBM, pemerintah diminta DPR mengkaji opsi-opsi lain yang secara
teknis maupun ekonomis lebih mungkin diterapkan. Salah satu opsi tersebut
adalah mengurangi subsidi harga jual BBM jenis premium. Artinya, harga premium
dinaikkan.
Sejak awal, kalangan ekonom sudah menyebutkan bahwa menaikkan harga
BBM bersubsidi adalah opsi paling realistis untuk mengurangi beban subsidi BBM
yang terus membengkak sebagai konsekuensi kenaikan harga minyak di pasar global
sekarang ini. Secara teknis, opsi tersebut tidak ribet untuk diterapkan karena
tidak menyaratkan kesiapan infrastruktur di lapangan.
Secara ekonomis, opsi itu juga berkelayakan dipilih karena berdampak
langsung mengurangi beban subsidi BBM. Untuk itu, pemerintah sekadar dituntut
membuat hitung-hitungan terlebih dahulu mengenai proporsi pengurangan subsidi
yang paling aman. Aman dalam arti dampak psikologis dan ekonomis yang kemudian
muncul tak terlampau membuat masyarakat megap-megap - dan karena itu tak rawan
memicu gejolak sosial.
Namun sejak awal pemerintah terkesan menghindari opsi itu. Pemerintah
kelihatan sekali enggan menimbang kemungkinan menaikkan harga BBM bersubsidi.
Pemerintah beralasan, harga BBM bersubsidi tak mungkin bisa dinaikkan karena
telanjur dikunci UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012.
Sepintas alasan itu terkesan elegan. Tetapi sebenarnya itu sekadar
dalih untuk menghindari pilihan tidak populer. Untuk mengakomodasi pengurangan
subsidi BBM, dengan konsekuensi harga BBM bersubsidi dinaikkan, toh UU APBN
2012 bisa saja diubah. Bahkan langkah ke arah itu sudah lazim dilakukan
sebagaimana selama ini tecermin lewat kelahiran APBN Perubahan.
Jadi, dalih pemerintah - bahwa UU APBN 2012 sama sekali sudah tertutup
bagi kenaikan harga BBM bersubsidi - sungguh menggelikan. Dalih tersebut lebih
mencerminkan pemerintah gengsi atau mungkin tidak pede menaikkan harga BBM
bersubsidi - karena jauh-jauh hari telanjur obral janji tak hendak menyusahkan
masyarakat dalam urusan BBM ini. Dengan kata lain, pemerintah tak siap tidak
populer.
Menaikkan harga BBM bersubsidi memang langkah tidak populer. Tetapi
menghadapi beban subsidi BBM yang terus membengkak, pemerintah tidak punya
banyak pilihan. Sebab, ibarat kanker, beban subsidi BBM sudah tak bisa
dibiarkan terus menggerogoti anggaran negara.
Karena itu, pemerintah harus berani bertindak tidak populer. Toh
populer tidak selalu berarti sehat dan menyehatkan.
Jadi,
pemerintah harus berani menempuh opsi-opsi paling mungkin tapi bersifat
realistis menyangkut kebijakan untuk mengatasi tekanan beban subsidi BBM ini.
Terlebih pemerintah sudah terlalu lama berputar-putar tak menentu dalam pusaran
itu.
Agar masyarakat
luas tidak merasa dirugikan oleh keputusan pemerintah yang tidak berpegang
teguh pada masyarakat.tidak berpihak kepada masyarakat kecil dan hanya
mementingkan diri masing – masing.
Sekian.